Bercermin dari pidato wisudawan SMA di Amerika. Cuplikan pidato Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010. Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu.sumber : http://rinaldimunir.wordpress.com/2013/04/07/pidato-wisudawan-terbaik-memukau-tetapi-sekaligus-menakutkan/
*******
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”
*******
Pendidikan di Indonesia, tidak jauh berbeda!
Komen @ kucluk :
Kucluk berkata:
Pola pikir seperti ini (yang mengagungkan nilai akademis) kan hasil dari bentukan sistem. Coba lihat sistem pendidikan di Finland. Mereka tidak ada kurikulum ketat seperti kita. Tidak ada tes masuk yang berbasis nilai. Dan mereka menyiapkan sekolah agar murid bisa mengeksplorasi bakatnya masing-masing. Dan jadinya? Hanya dalam waktu singkat, mereka yang tadinya tertinggal di dunia pendidikan, sekarang jauh di depan meninggalkan Indonesia di belakang. Jadi yah tetep, sistem lah yang membentuk karakter karena kalau ga nurut ama sistem, pasti ditendang. Akhirnya ya nurut, karena nurut, jadilah pola pikir hasil cetakan sistem.
selengkapnya dapat dibaca di sini: http://nasional.kompas.com/read/2013/09/02/1613218/IGI.Pendidikan.Bukan.Prioritas.di.Indonesia
Bandingkan dengan Finland. Di sana, sistem pendidikan dapat dilaksanakan tanpa menggunakan nilai akademis sebagai tolok ukur lulus-tidaknya siswa. Sekolah disiapkan sedemikian rupa untuk mengakomodasi minat dan bakat siswa sehingga semua bisa mengembangkan kemampuannya semaksimal mungkin tanpa harus dikekang dengan nilai. Dan hasilnya, hanya dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, Finland bisa ngebut menyalip dan meninggalkan Indonesia dalam bidang pendidikan.
Jadi permasalahannya bukan di mahalnya, tapi di kemauan penguasa untuk mengubah sistemnya. Masalah keterbatasan alat peraga dapat diminimalisasi dengan alat-alat sederhana namun cukup untuk memberi pemahaman kepada siswa.